Rabu, 15 Februari 2012

MASJID DAN POLITIK


Masjid itu bukan ruang yang sepi. Ia selalu terisi lima kali sehari-semalam. Itu resminya. Secara tak resmi, masjid selalu terhampiri, baik oleh mereka yang sedang kelelahan dan mencari tempat berteduh, oleh mereka yang sesak buang air, dan oleh mereka yang ingin mencari tongkrongan. Apa fungsi strategis masjid bagi masyarakat muslim saat ini? Hemat saya, jawabannya ada di dalam brangkas memori umat Islam itu sendiri. Tentu sesuai degan kelindan pengalaman yang mereka rajut tentang masjid.
Karena sering dimasuki oleh semua orang, maka masjid tidak sepi dari corak lagam budaya, kultur, nilai, ide, kepentingan, dan kelakuan orang-orang tersebut. Bagi pegiat usaha, masjid mungkin akan dipandang menjadi salah satu faktor untuk menaikkan taraf kesejahteraan seseorang. Bagi para perajin pengajian, masjid adalah tempat untuk mengingat Tuhan dalam kajian-kajian rutin yang diselenggarakan di dalamnya.
Lain halnya bagi para politisi. Masjid barangkali adalah sebuah tempat yang di sana ia bisa membangun basis kekuatan politik, membangun citra politik, dan berjuang mencari massa umat yang bisa ditipu oleh politik. Terkait dengan yang terakhir ini, inilah satu hal terkait masjid yang harus diperhatikan saat ini. Bahwa masjid sangat rawan untuk dijadikan, dimanfaatkan, dibuat, di-setting, dan direkayasa demi sesuatu hal yang disebut politik.
Bagi yang melakukan itu, usaha ini adalah usaha sadar. Namun, bagi orang lain yang buta politik dan bisa dimanipulasi, hal ini adalah sesuatu yang sangat tidak disadari. Sedangkan bagi yang tahu namun acuh, hal ini ibarat kentut yang berbau di tengah keramaian. Tidak perlu diributkan, hanya cukup pura-pura tidak tahu saja. Persoalannya kemudian adalah bahwa masjid itu adalah tempat ibadah kepada Allah SWT. Karena ibadah, maka setiap orang yang berurusan dengan masjid –bahkan dengan semua urusan kehidupan ini– haruslah melepaskan ikatan-ikatan kepentingan material seperti politik.
Semua umat muslim pasti akan sangat tidak merasa nyaman kalau mereka sholat atau ikut pengajian di dalam masjid yang di dalamnya ternyata disisipkan materi atau suasana politik yang dilandaskan atas garis perjuangan partai politik, tokoh politik, atau ide politik tertentu. Sekalipun hal itu memang tidak terganggu, tapi hal itu sangat mengusik suasana spiritualitas batin yang dirajut di dalam masjid. Karena itu, ada baiknya eksistensi masjid beraroma politik yang ada di manapun, harus direnungkan. Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan di sana.
Pertama, masjid digunakan oleh tokoh-tokoh tertentu untuk menyiapkan mesin-mesin perjuangannnya dalam mensukseskan kepentingan politiknya. Ia bisa mengkoordinir tokoh-tokoh masjid. Lalu dari tokoh-tokoh itu lahirlah sebuah lembaga atau kontrak sosial tertentu yang menguntungkan kedua belah pihak. Maka, sang tokoh pun mulai giat bersilaturahmi dari masjid ke masjid. Setiap masjid yang ia hampiri, selalu ia tinggalkan di sana sekeping receh untuk menyumbang masjid.
Lalu ia diberi waktu untuk menyampaikan sepatah kata sambutan, diberikan forum untuk berbicara, lalu ia pun menyatakan keprihatinannya atas realitas umat Islam saat ini. Secara terang-terangan, ia dan lembaga yang dibentuknya itu memang tidak menyatakan diri bergerak di dalam pensuksesan tokoh politik itu. Maka, diambillah jargon-jargon, semboyan, ide, pemikiran, serta gerakan tertentu yang mengatas-namakan umat Islam, masjid, rakyat, bahkan serikat takmir masjid dalam suatu wilayah. Meskipun hal tersebut wajar-wajar saja dalam politik, namun, kewajaran itu menjadi tidak wajar dan sangat mengerikan karena dari sana ternyata masjid hanya dipakai untuk sebuah gerakan politik tertentu.
Kedua, saat ini banyak sekali partai-partai politik yang telah dan mulai membidik masjid sebagai sasaran dakwah politiknya. Entah itu parpol Islam atau parpol lain. Mereka, jauh-jauh hari telah merekayasa masjid, menyusupkan orang-orangnya ke masjid, dan menyelipkan agenda perjuangan dan ideologi mereka ke dalam masjid. Tujuannya sederhana, yaitu berparpol sebagai usaha untuk meraih pahala ibadah kepada Allah SWT sekaligus merebut keuntungan suara umat yang secara tidak sadar telah tersusupi oleh ide, pemikiran, dan kepentingan parpol tersebut.
Ciri-cirinya mudah dilihat. Ada parpol yang menyebarkan kader-kadernya ke dalam suatu posisi kepengurusan masjid. Ada yang membuat acara-acara besar dan kecil yang di sanalah tokoh parpol itu mungkin untuk dihadirkan. Ada pula yang sengaja membuat acara kajian rutin, yang di sanalah mereka bisa menyusupkan ide-ide dan garis perjuangan pergerakan mereka. Sebenarnya masih banyak. Namun, itu saja saya kira sudah cukup untuk diamati.

Kepentingan Lain
Prinsipnya, masjid itu harus bebas kepentingan. Kalau pun ia harus dimasuki kepentingan, itu boleh. Tapi bisakah kepentingan yang masuk itu tidak merugikan orang-orang yang berbeda kepentingan, dan –ini yang paling penting– tidak merusak tatanan suci sebuah ibadah yang disimbolkan dalam sebuah tempat bernama masjid? Masjid dan umat Islam memang tidak boleh buta politik. Bahkan Rasulullah SAW pun sejak hijrah ke Madinah, selalu menjadikan masjid sebagai tempat menyusun strategi dakwah Islam.
Meski boleh-boleh saja, namun, hendaknya hal itu jangan ditafsirkan bahwa Rasulullah SAW berpolitik di dalam masjid. Akan tetapi, saat itu Rasulullah SAW hendaknya ditafsirkan sebagai tokoh yang bebas kepentingan, yang sedang menggembleng umatnya. Bukan sedang mengajari dan mencari keuntungan politik. Nah, inilah yang tidak dilihat oleh pihak-pihak yang mempolitisasi masjid atau menjadikan masjid sebagai sarang politiknya.
Masjid adalah tempat umum. Tempat umat. Karena itu, masjid harus bebas kepentingan, baik politik, ideologi, parpol, dan sebagainya. Bilapun melalui masjid ingin dibangun kekuatan politik, bisakah pihak-pihak yang hendak melakukan itu menjaga dirinya dan diri umat Islam pada umumnya dari godaan untuk mencari keuntungan politik dari masjid? Bisakah mereka menurunkan dan tidak membawa-bawa bendera politiknya masing-masing di dalam masjid baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan?
Mengapa demikian? Karena Allah SWT pasti tidak suka kalau kepentingan-Nya dijual, diganti, dan disandingkan dengan kepentingan manusia. Apalagi bila kepentingan itu sungguh material dan kotor. Sekalipun ada alasan diajukan bahwa bahwa kepentingan manusia itu adalah untuk kepentingan umat Islam. Pasti, semua orang yang ingin membangunkan politik di dalam masjid akan mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan umat. Tapi, bukankah itu berarti umat dan kepentingan Allah SAW tergadaikan?

Bukan Anti Politik
Tulisan ini tidak mengatakan bahwa umat Islam harus tidak berpolitik. Tidak. Bahkan semua umat Islam harus melek politik, tahu politik. Tapi bukan untuk berpolitik dan memberikan ruang politik tertentu bagi pihak-pihak pejuang politik seperti parpol atau tokoh politik tertentu di dalam masjid. Justru karena mereka harus melek politik, maka mereka harus waspada dan jeli melihat watak destruktif dan manipulatif kepentingan-kepentingan politik yang hendak memanipulasi masjid secara sedemikian rupa. Justru karena mereka harus melek politik, maka mereka harus jeli melihat aktor-aktor yang sedang berjualan ideologi dan menawarkan kepentingan di dalam masjid.
Jangan sampai masjid terang-terangan dipatok, dibatasi, dan di-setting sedemikian rupa menurut pola perjuangan sebuah partai politik tertentu. Apalagi jika sampai-sampai sebuah masjid itu terang-terangan mendukung partai dan tokoh politik tertentu. Apalagi jika sampai-sampai sebuah masjid merugikan umatnya dalam sebuah gerakan untuk memberikan ruang tertentu untuk partai dan tokoh politik tertentu. Sekali lagi, tulisan ini tidak mengatakan bahwa masjid bebas politik dan kepentingan lainnya itu benar mutlak. Tapi umat Islam harus menyadari bahwa masjid yang bebas politik dan kepentingan lainnya itu adalah hal yang baik. Agar ibadah di dalam masjid bisa lurus dan sampai kepada Allah SWT tanpa tersangkut di medan kepentingan-kepentingan manusiawi yang kotor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar