Rabu, 15 Februari 2012

RUMAH ALLAH


RUMAH ALLAHCetakE-mail
DUA belas anak tangga aku turuni.  Di pintu masuk yang juga menjadi pintu keluar, seorang lelaki kuhampiri.  Kekar dan masih kencang kulitnya dan masih hitam rambutnya.  Begitu sehat, kemeja putih lengan pendek dengan dua saku di kanan dan kiri dada, celana panjang biru tua, sepatu lars hitam, topi biru yang bersih dan tajam warnanya, walkie-talkie.  Kutanyakan sebuah musala. 
“Di gedung ini tidak ada, Dik. Pegawai di sini bila salat di antara meja-meja mereka sendiri.  Tetapi masjid umum di luar ada.  Dari sini keluar, belok kiri, belok kiri lagi, ada jalan lurus.  Di jalan pertama masuk saja.  Masjidnya tidak jauh dari papan nama jalan.”
Rupanya aku terlalu merasa mengetahui segala hal, dan menganggap semua yang dilihat mataku berbulan-bulan kemarin tidak mungkin terjadi. Rupanya orang yang membuat kehidupan berpanjang-panjang untuk mata dengan perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki berwajah tanpa cela dan pakaian-pakaian bagus, melihat juga kehidupan yang diatur Tuhan.  Kehidupan yang tidak dibuat dan diatur olehnya yang sering kali semata karena kesombongan pikiran dan hasilnya hanya sampah.
Ataukah orang itu pernah datang ke gedung ini?
Aku keluar dari gedung tanpa merasakan apa-apa.  Hatiku, semenjak pergi pagi tadi, bahkan sejak sebelum-sebelum-sebelumnya, sudah kusiapkan lapang, karena aku yakin Tuhan pasti akan memberi apa saja yang paling baik untukku, di lain hari, juga tentunya kepada orang-orang lain.
Sebuah meja yang seharusnya kuhadapi kembali pergi entah ke hadapan siapa.  Pertanyaan-pertanyaan lelaki yang menerimaku tadi, begitu menunjukkan hatinya : “Apa daerah asal orang tua Anda?”; “Apa Anda siap mengikuti aturan-aturan?”; “Apa Anda kenal dengan seseorang di gedung ini?”
Aku belok kiri, belok kiri lagi, melintasi jalan lurus.  Di jalan pertama, aku melihat papan nama jalan:  “Jln. Masjid”.
Masjid itu bagus, besar, megah, mewah.  Berlantai dua dengan dinding warna hijau dan kubah putih.  Pagar tembok dan besi melindungi di sekelilingnya.  Pelataran luas berlantai com-block dengan belasan pohon kenari di pinggir  dalam pagar.  Tentunya banyak sekali uang dikeluarkan untuk membangunnya.
Aku mendorong ke kiri pintu gerbang, sekadar cukup untuk badanku, karena sebuah papan digantung di pintu:  “Tutup Kembali”.  Kuselipkan badanku, menutup kembali pintu.  Kubuka kedua sepatu pantopel hitam dan kaus kaki cokelat tua yang membungkus kakiku.  Kuletakkan di anak tangga.
Aku noleh kiri-kanan. Di sayap kiri, di tiang, kulihat papan ukuran 20  x 25 cm bergambar siluet perempuan berkerudung.  Dari dalam kedengar suara air kran mengalir dan suara sapu lidi menggesek-gesek lantai.  Di sayap kanan, kulihat papan ukuran 20  x  25 cm di tiang, bergambar siluet lelaki berpeci.  Aku membuka jam tanganku, menggulung celanaku, memutar kran.  Tas yang kusangkil dan kacamataku kuletakkan di atas tempat wudu.
Aku memegang gagang pintu, memutar, menarik.  Keras.  Ternyata dikunci.  Ini bukan pertama kalinya.  Beberapa sajadah tergulung di lantai.  Sebuah kertas ditempel dikaca:  “Silahkan pakai sajadah yang ada.  Jangan lupa gulung kembali.  Mohon tidak dicuri”. 
Mataku melihat ke dalam masjid, menembus kaca agak terang yang mengelilinginya.  Marmer putih berukuran 1 x 1 meter terhampar di seluruh lantai.  Di  langit-langit bagian tengah, tergantung lampu berhias kristal-kristal berbentuk buah belimbing besi, memantulkan cahaya dari lampu-lampu yang dilindunginya.  
Di langit-langit yang lain, tergantung delapan kipas angin baling-baling, di antara lampu-lampu bulat sebesar kepalan orang dewasa.  Empat kipas angin berkaki ditempatkan di keempat sudut.  Ukiran marmer hijau bertuliskan ayat kursi dipasang memanjang di dinding marmer putih sekeliling masjid.  Ukiran marmer hijau yang lain berbentuk lingkaran bertulis “Allah” dan “Muhammad” terpasang di kanan dan kiri depan.
Aku menenteng kedua sepatuku.  Menaiki tiga puluh anak tangga.  Kuletakkan sepatu di anak tangga teratas.  Kembali kupegang gagang pintu, memutar, menarik.  Keras, ternyata dikunci.  Ya, ini bukan yang pertama kalinya.
Aku meletakkan tas sangkil di lantai teras atas.  Kacamata kuletakkan di atasnya.  Beberapa sajadah yang tergulung di lantai, kuambil sebuah.  Kugelar menghadap barat. Sebuah kertas ditempel di kaca tadi kubaca:  “Silahkan pakai sajadah yang ada.  Jangan gulung kembali.  Mohon tidak dicuri.”
Kuambil tasbih di dalam tas, kuletakkan di ujung depan sajadah, aku berdiri di atas sajadah, menghadap barat, kedua tanganku lurus di samping 
* * *
MATAKU melihat ke dalam masjid, menembus kaca agak gelap yang mengelilinginya. Sebuah mimbar setinggi 1,5 m dan lebar satu meter, terbuat dari kayu berwarna cokelat tua berukiran bunga-bunga, berdiri kokoh di depan, lengkap dengan mike di mejanya. Ukiran marmer hijau bertuliskan ayat kursi dipasang memanjang di dinding marmer putih sekeliling masjid.  Ukiran marmer hijau yang lain berbentuk lingkaran bertulis “Allah” dan Muhammad” terpasang di kanan dan kiri depan.
Betapa bagus, besar, megah, mewah. 
Aku diam berpikir.  Para pengurus masjid seringkali merasa bahwa masjid adalah milik manusia, karena manusia yang mengeluarkan uang untuk membangunnya, makanya merasa berhak menguncinya dan orang-orang menjadi sulit mencium sajadahnya.   Padahal masjid milik Allah, maka hanya Allah yang berhak mengunci dan membuat orang-orang sulit menikmati sajadahnya.  
Namun, nyatanya Allah tidak pernah mengunci dan melarang orang memasuki rumah-Nya, betapa pun kotor orang itu.  Bahkan penjahat besar sekalipun Allah persilahkan masuk.  Allah, hanya ingin orang-orang menjaga kebersihan rumah-Nya.  Maka hanya orang yang tubuhnya bersih, kakinya tidak berlumpur, tubuhnya tidak terkena najis, dan sudah berwudu yang diperbolehkan masuk ke masjid.
Namun, kalau semua pintunya dikunci, bagaimana manusia bisa bertemu Allah sang empu-Nya rumah?
Sajadah kembali kugulung, kugabungkan dengan beberapa yang tergulung di lantai.
Aku kembali menyangkil tas dan memakai kacamata.  Kaus kaki cokelat tua dan sepatu pantopel hitam kembali membungkus kakiku.  Tiga puluh anak tangga kembali kuturuni.  Aku kembali diam berpikir, duduk di teras, menghadap jalan raya.
“Mau salat, Dik?” Seorang lelaki menghampiriku.  Kurus dan sudah mengeriput kulitnya dan sudah memutih semuanya rambutnya.  Begitu tua.  Kemeja cokelat lengan panjang digulung di batas siku dengan dua saku di kanan dan kiri dada, celana panjang hitam digulung dibatas lutut, sandal jepit merah, peci hitam yang sudah menguning warnanya, sapu lidi.
Aku menoleh ke kanan.  “Sudah, Pak”.
“Sudah?” Bapak tua itu duduk di dekatku.
“Ya, ini mau pergi”.  Aku mengambil jam tanganku di saku celana depan sebelah kanan, memakai kembali ke pergelangan tangan diriku.
“Saya tidak mendengar ada orang masuk dari tadi.  Saya di dalam membersihkan WC perempuan.  Salat di mana tadi?”
“Di atas”.
“Adik dari mana?”
“Kantor radio di depan”.
“Kerja di sana?”
“Baru dipanggil”.
“Diterima?”
“Sepertinya tidak, Pak”.
“Mendapatkan pekerjaan sekarang memang sulit, Dik.  Tapi sabar saja.  Allah pasti akan memberi yang terbaik untuk Adik dilain hari”.
“Kenapa masjid ini pintu-pintunya dikunci, Pak?”
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannya, yang menyuruh, Dik.  Dia tidak ingin masjid miliknya kembali dimasuki maling”.
“Masjid milik Allah, Pak.  Rumah Allah”.
* * *
“MEMANGNYA pernah terjadi apa di dalam, Pak?”
“Pencurian, Dik.  Bapak tua itu membenarkan letak pecinya.
Aku mengernyitkan dahi.  “Begitu? Apa yang hilang?” Kupikir berani sekali orang yang melakukannya.  Mencuri di rumah Tuhan! Manusia saja marah jika rumahnya dimasuki pencuri, bagaimana Tuhan?
“Pernah, Dik.  Kotak amal.  Dua buah sekaligus.  Padahal ada yang lebih mahal.  Jam ukuran besar ukuran lemari di samping mimbar.  Mungkin karena sulit mengangkatnya, ya?”
Aku meringis saja.  “Kenapa tidak menggaji orang untuk menjadi penjaga saja, Pak? Jadi bukan dengan cara mengunci begini”.
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannya, orangnya sangat pelit, Dik”.
“Begitu?”
“Seharusnya memang ada orang yang digaji untuk menjaga siang dan malam di sini.  Bukan dikunci begini.  Tapi saya bisa apa, Dik? Saya cuma kuli”.
* * *
AKU melihat jam tanganku.  Tepat 12:53.  Bapak tua itu masih disampingku.
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannya, orangnya galak, Dik.  Kalau masjid kelihatan kotor, dia marah sekali.  Katanya masjid tidak boleh kotor karena nanti orang tidak akan tertarik menyewanya untuk pesta pernikahan”.
“Begitu?”
“Ya, di lantai bawah ini, Dik.  Biasanya hari Sabtu atau Minggu.  Biaya sewanya mahal sekali.  Tapi tetap saja banyak orang yang menyewa”.
Aku kembali diam berpikir.  Ternyata memang karena uang semuanya bisa bermula dan berakhir.
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannnya orangnya sangat pelit, Dik.  Saya saja sudah sepuluh tahun bekerja di sini, sejak masjid ini dibangun, sebulan cuma digaji Rp 150 ribu.  Padahal dia sangat kaya.  Bahkan katanya akan kembali membangun sebuah masjid berlantai dua ditempat lain.  Katanya, sih, akan lebih bagus dan lebih besar dari masjid ini, dan biaya sewa untuk pesta pernikahannya akan lebih mahal.”
Aku berdiri.  Kembali menyangkil tas.  Kudorong ke kanan pintu gerbang, sekedar cukup untuk badanku, karena sebuah papan digantung dipintu: “Tutup Kembali”.
Manusia seringkali merasa bahwa masjid adalah milik mereka, karena mereka yang mengeluarkan uang untuk membangunnya, makanya merasa berhak menguncinya dan orang-orang menjadi sulit mencium sajadahnya.  Padahal masjid milik Allah, maka hanya Allah yang berhak mengunci dan membuat orang-orang sulit menikmati sajadahnya.  Namun, nyatanya Allah tidak pernah mengunci dan melarang manusia memasuki rumah-Nya, betapapun kotor manusia itu.  Bahkan penjahat besar sekali pun Allah persilakan masuk.  
Maka kini kulihat banyak masjid bernasib layaknya museum:  Bagus, besar, megah, mewah, namun tidak ada umat yang salat di dalamnya karena pintunya hanya dibuka untuk salat Jumat dan pesta pernikahan.  Hari-hari lain, hanya dua atau tiga orang salat di sana, dan itu pun hanya di teras.
Karena manusia seringkali merasa bahwa masjid adalah milik mereka.* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar