Rabu, 15 Februari 2012

Masjid Benteng Kesehatan Umat


Berjuta masjid yang ada di Tanah Air, tak menjamin telah terberdayakannya untuk pelayanan kesehatan umat. Butuh perubahan wacana, paradigma dan tata kelola masjid-masjid yang ada, agar dapat menjadi benteng kesehatan fisik dan mental umat.

Berkunjung ke Masjid Muhammad Ali atau lebih dikenal dengan sebutan Qal’ah atau Citadelyang berdiri megah di Cairo, Mesir, mengingatkan perkasanya kepemimpinan Islam di dunia beberapa abad silam. Benteng kokoh di atas bukit yang mayoritas tanahnya didomnasi oleh bangunan masjid itu, menjadi saksi sejarah fungsi sangat urgennya masjid sebagai sentra aktivitas, menyejahterakan masyarakat, dan mobilisasi kekuatan Islam masa itu.

Masjid bermodel arsitektur duplikasi dari masjid indah dengan nama yang sama di Istambul, Turki tersebut, bukan hanya lengkap sebagai istana kenegaraan, tapi juga pusat pemerintahan, bisnis dan sosial kemasyarakatan, utamanya menjamin kesehatan masyarakat.

Di masjid yang kini menjadi bagian cagar budaya UNESCO itu, masih tersisa monumen bangunan rumah sakit yang sangat lengkap untuk ukuran masanya.

Sayangnya, Indonesia yang terkenal sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, bahkan secara tak formal berjuluk “negeri sejuta masjid”, tak banyak mentradisikan masjid untuk diberdayakan maksimal, terlebih untuk kepentingan pelayanan kesehatan publik.

Bangunan masjid di Tanah Air yang tumbuh bak jamur di musim hujan ini tak dioptimalkan. Padahal, dengan fungsi masjid yang dinamis, sangat membuka peluang menjadikannya sebagai sentra aktivitas, khususnya terkait pemberdayaan kesehatan masyarakat.

Terlebih bagi umat Islam, masjid bukan sekadar simbol, tapi juga menjadi tempat yang paling sering dikunjungi. Mereka bisa lebih dari lima kali sehari “lalu lalang” ke masjid, bukan hanya untuk mengerjakan ibadah mahdhah namun juga kegiatan lainnya terkait ibadah maupun sosial. Ironinya lagi, tak sedikit masjid di Tanah Air yang hanya buka khusus di jam-jam ibadah. Entah karena alasan untuk menjaga kebersihan, keamanan, atau apapun.
Sejatinya, menurut banyak pakar, masjid memiliki fungsi nan multi, yang andai diberdayakan secara arif dan apik, perannya dalam meningkatkan kemakmuran umat akan tercapai.

Pakar tafsir terkemuka Indonesia, Prof M Quraish Shihab, merangkum sedikitnya ada sepuluh fungsi masjid yang diberdayakan pada periode awal Islam. Yaitu fungsi ibadah, pendidikan, santunan sosial, penampungan tahanan perang, balai pengobatan korban perang, aula dan tempat menerima tamu, lokasi perjanjian perdamaian dan pengadilan sengketa, pusat penerangan dan pembelaan Islam, latihan militer dan persiapan artilerinya, serta fungsi komunikasi dan konsultasi ekonomi-sosial-budaya.

Ahmad Yani, penulis Panduan Memakmurkan Masjid (Jakarta: 2009), setidaknya memaparkan sembilan peran dan fungsi masjid pada zaman Rasulullah SAW.

Pertama, fungsi utamanya sebagai tempat ibadah dan segala aktivitas yang berorientasi dzikrullâh (mengingat Allah SWT).Keduza, sebagai tempat pertemuan fisik dan batin (hati maupun pikiran). Rasulullah SAW biasa merekat jalinan pribadi dengan para Sahabatnya di dalam masjid untuk mendorong semangat juang mereka dalam menegakkan Islam.

Ketiga, tempat bermusyawarah berbagai hal dan masalah. Seperti urusan pribadi, keluarga, strategi perang, perdamaian, dan meningkatkan kemaslahatan umat.

Keempat, sebagai tempat perlindungan. Bila seseorang dalam keadaan tak aman, masjid menjadi lokasi suaka teraman selama untuk tujuan kebaikan. Seperti yang Rasulullah nyatakan kepada para penduduk Mekkah saat menaklukkan kota Mekkah (fathul Makkah). Juga menjadi tempat perlindungan fisik bagi para musafir dari terik dan hujan, atau tempat transit dan beristirahat sementara bagi mereka.

Kelima, sentra kegiatan sosial, khususnya penanganan masalah kemiskinan. Melalui masjid, Rasulullah melakukan pengumpulan zakat, infak dan sedekah, kemudian menyalurkannya kepada yang pihak yang membutuhkan (mustahiq).
Keenam, menjadi pusat latihan dan mengatur siasat perang. Ketujuh, tempat pendidikan mengajarkan ilmu dan wahyu Allah SWT. Dan masjid merupakan madrasah pertama dalam tradisi Islam. Kedelapan, tempat berdakwah.

Fungsi lainnya yang sangat signifikan adalah sebagai tempat pengobatan, khususnya pada masa-masa perang. Seperti perjuangan shahabiyyah (Sahabat wanita) bernama Rafidah, yang sering mendirikan tenda di pelataran masjid untuk merawat dan mengobati pasukan kaum Muslimin yang luka.

Benteng kesehatan umat

Seperti dirilis beberapa media, tahun 1975 silam, pernah digelar konferensi Risalatul Masjid di Makkah al-Mukarramah, yang mendiskusikan pengembangan peran dan fungsi masjid masa kini agar mampu menjadi sentra kegiatan umat.

Konferensi tersebut menghasilkan konsensus yang salah satu butirnya menyebutkan kriteria masjid untuk dapat dikategorikan “baik”. Yaitu jika masjid tersebut memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan; ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK); ruang pertemuan dan perpustakaan; ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengafankan mayat; serta ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Berdasarkan data tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia mencapai 700.000 ribu, belum termasuk langgar dan mushala yang mencapai jutaan jumlahnya. Sayangnya, masjid yang dikelola secara profesional belum begitu signifikan jumlahnya, apalagi yang mampu menangani aspek pemberdayaan kesehatan masyarakat. Sebagian besar masjid justru masih dikelola dengan cara konvensional.

Alhamdulillah, perlahan tapi pasti, kesadaran mengembangkan pemberdayaan masjid hingga level menyejahterakan kesehatan masyarakat kian berkembang di masa kini. Meski masih butuh kerjasama sinergis yang intens dari berbagai pihak terkait, agar masjid benar-benar dapat menjadi benteng utama pemberdayaan dan pelayanan kesehatan umat.
x

Menurut Direktur Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), drg Imam Rulyawan MARS, asumsi publik bahwa biaya kesehatan itu mahal, dapat ditepis jika pemberdayaan fungsi masjid dalam bidang pelayanan kesehatan umat dapat dioptimalkan.
Imam pernah melakukan studi tentang pos sehat berbasis masjid. Kesimpulan yang didapatnya, pelayanan kesehatan di tingkat dasar akan dapat terpenuhi dengan mengoptimalkan dana zakat yang ada dalam masyarakat serta meningkatkan peran swadaya dan swadaya masyarakat.

Menurutnya, kemampuan pengumpulan zakat masjid-masjid di Tanah Air sangat signifikan, apalagi bertepatan dengan bulan Ramadhan yang bisa meraup 3-4 kali lipat dana dari bulan-bulan biasa. Dan dana tersebut sangat mungkin dialokasikan menjadi dana pemberdayaan masyarakat, seperti sinergi yang dilakukan LKC dengan Dompet Dhuafa.

Imam mengilustrasikan, jika di salah satu pos sehat dalam satu bulan dapat mengumpulkan dana zakat maupun swadana sebesar Rp 4–5 juta, maka dana seminim itupun masih bisa digunakan untuk menutupi biaya kesehatarn bagi 150 KK (Kepala Keluarga). Dengan hitungan per-KK lima jiwa, berarti dengan dana tersebut mampu menutupi kebutuhan layanan kesehatan bagi 750 jiwa.
Dan dana sebesar itu diasumsikan bisa memenuhi pelayanan kesehatan tingkat dasar, seperti infeksi saluran pernafasan ringan, pusing-pusing, flu dan maag.

Secara teknis, Imam menambahkan, dari dana minimin Rp 4-5 juta tersebut, sudah bisa mengopersionalkan satu klinik yang buka dua kali seminggu dengan rata-rata praktik 3-4 jam. Dengan asumsi dari 750 jiwa yang ada, biasanya hanya 10% yang mengalami sakit. Jadi hanya sekitar 75 orang satu bulan. Dan sisa uangnya bisa digunakan untuk memenuhi biayamaintenance, obat, dan membayar tenaga relawan. Sungguh kiat simple, namun butuh ketekunan pengelolaan dan niat yang sangat tulus!

Sehat mental

Sebuah adagium popular menyebutkan, “Akal/pikiran yang sehat terdapat dalam raga yang sehat.” Al-‘aqlus-salîm fîl-jimis-salîm. Kesehatan fisik adalah dasar kesehatan, yang menopang pikiran dan jiwa. Kesehatan jiwa sangat mendukung ketentraman batin yang menunjang suksesnya kekhusyu’an ibadah.

Beban hidup yang kian berat dewasa ini, tentunya menyisakan banyak masalah bagi umat, yang juga seharusnya menjadi perhatian pihak penyelenggara/pengurus masjid untuk membantu jamaahnya terbebas dari tekanan, apalagi penyakit batin dan jiwa.

Perlindungan dan pelayanan bagi kesehatan fisik dapat dilakukan dengan upaya medis, sementara kesehatan jiwa harus ditopang dengan memberi pelayanan konsultasi psikologis.

Nana Rukmana MA, penulis buku Masjid dan Dakwah (2002) mengungkapkan, pengurus masjid berkewajiban untuk membantu jamaahnya mengatasi dan memecahkan persoalan mental, misalnya dengan membuka pelayanan konsultasi.

Menurut aktivis Masjid Agung al-Azhar Jakarta ini, sudah saatnya masjid-masjid menyediakan tempat khusus untuk konsultasi para jamaah dalam memecahkan problem hidup yang dirasakan. Tentunya dengan mengutamakan keamanan privasi mereka.

“Ini penting untuk menghindari jamaah yang mengalami penurunan iman karena menghadapi banyak masalah. Apalagi jika karena dirundung masalah, ia menjadi tidak aktif mengikuti kegiatan masjid,” tegasnya.

Terkait layanan kesehatan yang dapat dikembangkan di lingkungan masjid, Nana melihat layanan kesehatan yang islami dapat diterapkan. Misi sosial juga harus dikedepankan. “Dokter dapat menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada pasien tanpa memungut biaya terlalu komersial,” ujar alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah mengikuti Latihan Mujadi Dakwah pada 1974 di Masjid Salman itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar