Rabu, 15 Februari 2012

MASJID DAN POLITIK


Masjid itu bukan ruang yang sepi. Ia selalu terisi lima kali sehari-semalam. Itu resminya. Secara tak resmi, masjid selalu terhampiri, baik oleh mereka yang sedang kelelahan dan mencari tempat berteduh, oleh mereka yang sesak buang air, dan oleh mereka yang ingin mencari tongkrongan. Apa fungsi strategis masjid bagi masyarakat muslim saat ini? Hemat saya, jawabannya ada di dalam brangkas memori umat Islam itu sendiri. Tentu sesuai degan kelindan pengalaman yang mereka rajut tentang masjid.
Karena sering dimasuki oleh semua orang, maka masjid tidak sepi dari corak lagam budaya, kultur, nilai, ide, kepentingan, dan kelakuan orang-orang tersebut. Bagi pegiat usaha, masjid mungkin akan dipandang menjadi salah satu faktor untuk menaikkan taraf kesejahteraan seseorang. Bagi para perajin pengajian, masjid adalah tempat untuk mengingat Tuhan dalam kajian-kajian rutin yang diselenggarakan di dalamnya.
Lain halnya bagi para politisi. Masjid barangkali adalah sebuah tempat yang di sana ia bisa membangun basis kekuatan politik, membangun citra politik, dan berjuang mencari massa umat yang bisa ditipu oleh politik. Terkait dengan yang terakhir ini, inilah satu hal terkait masjid yang harus diperhatikan saat ini. Bahwa masjid sangat rawan untuk dijadikan, dimanfaatkan, dibuat, di-setting, dan direkayasa demi sesuatu hal yang disebut politik.
Bagi yang melakukan itu, usaha ini adalah usaha sadar. Namun, bagi orang lain yang buta politik dan bisa dimanipulasi, hal ini adalah sesuatu yang sangat tidak disadari. Sedangkan bagi yang tahu namun acuh, hal ini ibarat kentut yang berbau di tengah keramaian. Tidak perlu diributkan, hanya cukup pura-pura tidak tahu saja. Persoalannya kemudian adalah bahwa masjid itu adalah tempat ibadah kepada Allah SWT. Karena ibadah, maka setiap orang yang berurusan dengan masjid –bahkan dengan semua urusan kehidupan ini– haruslah melepaskan ikatan-ikatan kepentingan material seperti politik.
Semua umat muslim pasti akan sangat tidak merasa nyaman kalau mereka sholat atau ikut pengajian di dalam masjid yang di dalamnya ternyata disisipkan materi atau suasana politik yang dilandaskan atas garis perjuangan partai politik, tokoh politik, atau ide politik tertentu. Sekalipun hal itu memang tidak terganggu, tapi hal itu sangat mengusik suasana spiritualitas batin yang dirajut di dalam masjid. Karena itu, ada baiknya eksistensi masjid beraroma politik yang ada di manapun, harus direnungkan. Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan di sana.
Pertama, masjid digunakan oleh tokoh-tokoh tertentu untuk menyiapkan mesin-mesin perjuangannnya dalam mensukseskan kepentingan politiknya. Ia bisa mengkoordinir tokoh-tokoh masjid. Lalu dari tokoh-tokoh itu lahirlah sebuah lembaga atau kontrak sosial tertentu yang menguntungkan kedua belah pihak. Maka, sang tokoh pun mulai giat bersilaturahmi dari masjid ke masjid. Setiap masjid yang ia hampiri, selalu ia tinggalkan di sana sekeping receh untuk menyumbang masjid.
Lalu ia diberi waktu untuk menyampaikan sepatah kata sambutan, diberikan forum untuk berbicara, lalu ia pun menyatakan keprihatinannya atas realitas umat Islam saat ini. Secara terang-terangan, ia dan lembaga yang dibentuknya itu memang tidak menyatakan diri bergerak di dalam pensuksesan tokoh politik itu. Maka, diambillah jargon-jargon, semboyan, ide, pemikiran, serta gerakan tertentu yang mengatas-namakan umat Islam, masjid, rakyat, bahkan serikat takmir masjid dalam suatu wilayah. Meskipun hal tersebut wajar-wajar saja dalam politik, namun, kewajaran itu menjadi tidak wajar dan sangat mengerikan karena dari sana ternyata masjid hanya dipakai untuk sebuah gerakan politik tertentu.
Kedua, saat ini banyak sekali partai-partai politik yang telah dan mulai membidik masjid sebagai sasaran dakwah politiknya. Entah itu parpol Islam atau parpol lain. Mereka, jauh-jauh hari telah merekayasa masjid, menyusupkan orang-orangnya ke masjid, dan menyelipkan agenda perjuangan dan ideologi mereka ke dalam masjid. Tujuannya sederhana, yaitu berparpol sebagai usaha untuk meraih pahala ibadah kepada Allah SWT sekaligus merebut keuntungan suara umat yang secara tidak sadar telah tersusupi oleh ide, pemikiran, dan kepentingan parpol tersebut.
Ciri-cirinya mudah dilihat. Ada parpol yang menyebarkan kader-kadernya ke dalam suatu posisi kepengurusan masjid. Ada yang membuat acara-acara besar dan kecil yang di sanalah tokoh parpol itu mungkin untuk dihadirkan. Ada pula yang sengaja membuat acara kajian rutin, yang di sanalah mereka bisa menyusupkan ide-ide dan garis perjuangan pergerakan mereka. Sebenarnya masih banyak. Namun, itu saja saya kira sudah cukup untuk diamati.

Kepentingan Lain
Prinsipnya, masjid itu harus bebas kepentingan. Kalau pun ia harus dimasuki kepentingan, itu boleh. Tapi bisakah kepentingan yang masuk itu tidak merugikan orang-orang yang berbeda kepentingan, dan –ini yang paling penting– tidak merusak tatanan suci sebuah ibadah yang disimbolkan dalam sebuah tempat bernama masjid? Masjid dan umat Islam memang tidak boleh buta politik. Bahkan Rasulullah SAW pun sejak hijrah ke Madinah, selalu menjadikan masjid sebagai tempat menyusun strategi dakwah Islam.
Meski boleh-boleh saja, namun, hendaknya hal itu jangan ditafsirkan bahwa Rasulullah SAW berpolitik di dalam masjid. Akan tetapi, saat itu Rasulullah SAW hendaknya ditafsirkan sebagai tokoh yang bebas kepentingan, yang sedang menggembleng umatnya. Bukan sedang mengajari dan mencari keuntungan politik. Nah, inilah yang tidak dilihat oleh pihak-pihak yang mempolitisasi masjid atau menjadikan masjid sebagai sarang politiknya.
Masjid adalah tempat umum. Tempat umat. Karena itu, masjid harus bebas kepentingan, baik politik, ideologi, parpol, dan sebagainya. Bilapun melalui masjid ingin dibangun kekuatan politik, bisakah pihak-pihak yang hendak melakukan itu menjaga dirinya dan diri umat Islam pada umumnya dari godaan untuk mencari keuntungan politik dari masjid? Bisakah mereka menurunkan dan tidak membawa-bawa bendera politiknya masing-masing di dalam masjid baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan?
Mengapa demikian? Karena Allah SWT pasti tidak suka kalau kepentingan-Nya dijual, diganti, dan disandingkan dengan kepentingan manusia. Apalagi bila kepentingan itu sungguh material dan kotor. Sekalipun ada alasan diajukan bahwa bahwa kepentingan manusia itu adalah untuk kepentingan umat Islam. Pasti, semua orang yang ingin membangunkan politik di dalam masjid akan mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan umat. Tapi, bukankah itu berarti umat dan kepentingan Allah SAW tergadaikan?

Bukan Anti Politik
Tulisan ini tidak mengatakan bahwa umat Islam harus tidak berpolitik. Tidak. Bahkan semua umat Islam harus melek politik, tahu politik. Tapi bukan untuk berpolitik dan memberikan ruang politik tertentu bagi pihak-pihak pejuang politik seperti parpol atau tokoh politik tertentu di dalam masjid. Justru karena mereka harus melek politik, maka mereka harus waspada dan jeli melihat watak destruktif dan manipulatif kepentingan-kepentingan politik yang hendak memanipulasi masjid secara sedemikian rupa. Justru karena mereka harus melek politik, maka mereka harus jeli melihat aktor-aktor yang sedang berjualan ideologi dan menawarkan kepentingan di dalam masjid.
Jangan sampai masjid terang-terangan dipatok, dibatasi, dan di-setting sedemikian rupa menurut pola perjuangan sebuah partai politik tertentu. Apalagi jika sampai-sampai sebuah masjid itu terang-terangan mendukung partai dan tokoh politik tertentu. Apalagi jika sampai-sampai sebuah masjid merugikan umatnya dalam sebuah gerakan untuk memberikan ruang tertentu untuk partai dan tokoh politik tertentu. Sekali lagi, tulisan ini tidak mengatakan bahwa masjid bebas politik dan kepentingan lainnya itu benar mutlak. Tapi umat Islam harus menyadari bahwa masjid yang bebas politik dan kepentingan lainnya itu adalah hal yang baik. Agar ibadah di dalam masjid bisa lurus dan sampai kepada Allah SWT tanpa tersangkut di medan kepentingan-kepentingan manusiawi yang kotor.

Masjid tak Hanya Buat Shalat, tapi Juga Aktivitas Politik dan Sosial

REPUBLIKA.CO.ID, PETALING, BANGKA - Ketua Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik (STAIN SAS) Babel, Irawan, mengemukakan, masyarakat Provinsi Bangka Belitung (Babel) dalam memahami fungsi Masjid masih kurang. "Masjid bukan hanya digunakan untuk menjalankan shalat wajib atau sunnah saja, tapi bisa dilakukan untuk berbagai aktivitas seperti aktivitas politik, sosial, kajian Islam dan kegiatan lainnya," ujarnya di Petaling, Kamis (23/6).

Ia menyayangkan, aktivitas-aktivitas yang pernah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW saat ini sudah mulai terlupakan oleh masyarakat. "Pada zaman Rasulullah, hampir seluruh aktivitasnya dilakukan di masjid dan saat ini sudah mulai dilupakan oleh masyarakat yang telah terpengaruh oleh budaya barat, sehingga ketika orang yang memakai atribut Islam dan menjalankan ibadah di Masjid dicap sebagai teroris," ungkapnya.

Untuk itu, kata dia, masyarakat harus meningkatkan pemahamannya tentang keutamaan menunaikan shalat wajib berjamaah di Masjid. "Shalat wajib berjamaah di Masjid pahalanya 27 kali lipat dari shalat sendiri di rumah," katanya menjelaskan.

Ia menyatakan, melakukan berbagai jenis kegiatan kebaikan di Masjid memiliki nilai lebih besar dari tempat lain. "Selain pahala yang berlipat ganda ketika menunaikan shalat wajib berjamaah, di dalam Masjid juga terdapat nilai-nilai persatuan, rasa tolong menolong, serta bisa mempererat rasa persaudaraan," ungkapnya.

Ia mengatakan, saat ini banyak Masjid yang terlihat sepi dapat dilihat dari banyaknya ruangan yang kosong ketika waktu shalat tiba. "Saat ini di Provinsi Babel bangunan Masjid sangat banyak dan megah-megah, namun kesadaran mereka untuk menjalankan ibadah wajib atau sunnah masih rendah dapat dilihat dari banyaknya masjid-masjid yang kosong," bebernya.

Masyarakat Provinsi Babel dapat meningkatkan pemahamannya tentang keutamaan beribadah di Masjid dan memperbanyak mengadakan kegiatan kebaikan di Masjid. "Kami berharap masyarakat bisa tergugah hatinya untuk melakukan kegiatan-kegiatan kebaikan di Masjid sehingga Masjid bisa lebih ramai dari sebelumnya," katanya penuh harap.

SEJARAH MASJID NABAWI


Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah saw., setelah Masjid Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Masjid Nabawi dibangun sejak saat-saat pertama Rasulullah saw. tiba di Madinah, yalah di tempat unta tunggangan Nabi saw. menghentikan perjalanannya. Lokasi itu semula adalah tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah saw. untuk dibangunkan masjid dan tempat kediaman beliau.[1][2]
Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m[3]Rasulullah saw. turut membangunnya dengan tangannya sendiri, bersama-sama dengan para shahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.[1]
Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi saw. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah.[1] Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras masjid.
Setelah itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab di tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah Utsman bin Affan di tahun 29 H. Di zaman modern, Raja Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah.

Masjid Kuno Bayan, Saksi Masuknya Islam


Kabupaten Lombok Utara yang dimekarkan tiga tahun lalu, ternyata bukan saja kaya dari sisi budaya dan pariwisata, namun juga memiliki situs sejarah yang masih berdiri tegak hingga sekarang. Situs yang dimaksud adalah Masjid Kuno Bayan Beleq, Desa Bayan Kecamatan Bayan, sebagai saksi bisu masuknya agama Islam di Pulau Lombok.
Masjid yang berdiri disebuah bukit dan dikelilingi beberapa cungkup makam para penyebar agama Islam ini,  diperkirakan dibangun ratusan tahun lalu, oleh seorang muballigh. Namun hingga saat ini belum ditemukan sumber tertulis siapa pendirinya dan pada tahun berapa didirikan. Yang jelas usia masjid yang kini dijadikan sebagai ikon pariwisata budaya ini sudah cukup tua.
Masjid kuno Bayan Beleq berukuran 9 X 9 meter persegi, dengan dinding rendah dari anyaman bambu. Sementara atapnya berbentuk tumpang yang tersusun rapi  dari bilah bambu atau dikenal dengan bahasa Dayan Gunung atap santek dengan lantai tanah yang dasarnya dari susunan batu kali.
Masjid kuno ini selain sebagai ikon wisata, juga  diabadikan dalam lambang daerah kabupaten Lombok Utara. Masjid Kuno Bayan Beleq digambarkan dalam bentuk siluet bewarna merah sebagai integritas peradaban masyarakat Lombok Utara. Disebutkan, bangunan Masjid Kuno Bayan menggambarkan tonggak peradaban masyarakat Lombok Utara yang dibangun berdasarkan kesadaran kosmos, kesadaran sejarah, kesadaran adat dan kesadaran spiritual.
Masjid Kuno Bayan, merupakan salah satu warisan budaya yang harus dipelihara sebagai situs cagar budaya yang berkontribusi dalam National Heritages. Warna merah pada stilisasi bangunan masjid kuno Bayan menunjukkan keberanian untuk menegakkan jati diri sebagai masyarakat budaya yang dibangun berdasarkan religiusitas yang kuat.
Konstruksi Masjid Kuno Bayan memiliki filosofis tersendiri, yang  terdiri dari kepala, badan dan kaki, menggambarkan dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah yang merupakan satu kesatuan dalam entitas kosmos masyarakat Lombok Utara.
Bila dilihat dari jarak dekat, masjid kuno Bayan Beleq tak ubahnya rumah-rumah di desa Bayan, yang bentuk bangunannya  serupa dengan bentuk bangunan rumah-rumah tradisional asli masyarakat Bayan. Saat pertama kali melihatnya, Anda mungkin tidak akan mengira bahwa bangunannya merupakan sebuah masjid.
Di dalam masjid juga terdapat sebuah bedug dari kayu yang digantung di tiang atap masjid serta makam beleq (makam besar) dari salah seorang penyebar agama Islam pertama di kawasan ini, yaitu Gaus Abdul Rozak. Di belakang kanan dan depan kiri masjid terdapat dua gubuk kecil yang di dalamnya terdapat makam tokoh-tokoh agama yang turut membangun dan mengurus masjid ini sejak dari awal.
Denah masjid berbentuk bujur sangkar, panjang sisinya 8,90 m.  Di topang 4 Soko Guru (tiang utama) yang dibuat dari kayu nangka, berbentuk bulat (silinder) dengan garis tengah 23 cm, tinggi 4,60 m. Keempat tiang tersebut berasal dari empat desa (dusun) yaitu : Tiang sebelah Tenggara, dari desa Bilok Petung Lombok Timur. Tiang sebelah Timur laut, dari desa Terengan. Tiang sebelah Barat laut, dari desa Senaru, Tiang sebelah Barat Daya, dari Dusun Semokon Desa Sukadana.
Keterangan para Pemangku Adat, tiang utama ini diperuntukkan bagi para Pemangku Masjid yaitu : Tiang sebelah tenggara untuk Khatib. Tiang sebelah timur laut untuk Lebai. Tiang sebelah barat laut untuk Mangku Bayan Timur. Dan tiang sebelah barat daya untuk Penghulu.
Pada bagian atas mimbar, terdapat hiasan berbentuk naga. Pada bagian “badan naga” terdapat hiasan (gambar) tiga buah binatang, masing-masing bersegi 12, 8, dan 7. Hiasan ini melambangkan jumlah bilangan bulan (12), windu (8), dan banyaknya hari (7). Disamping itu juga terdapat hiasan berbentuk pohon, ayam, telur, dan rusa.
Hingga saat ini, konstruksi masjid masih orisinal, walaupun telah direnovasi, sebab, proses renovasi tidak mengubah bentuk aslinya. Bahkan, masjid ini juga belum diterangi lampu listrik. Jika ada acara keagamaan, masyarakat hanya menggunakan batang bambu yang dilingkari lilitan buah jarak dan kapas, kemudian dinyalakan. Masyarakat setempat menyebutnya dila lilit  jojor.
Arsitektur Masjid Bayan menunjukkan adanya percampuran Hindu-Bali dengan Islam-Jawa. Denah masjid berbentuk bujur sangkar. Pada tengah bangunan, terdapat empat kolom (tiang) kayu yang tidak berbeda dengan konstruksi soko guru dalam arsitektur Jawa. Ini menunjukkan adanya pengaruh Jawa dalam arsitektur Masjid Bayan.
Walaupun arsitektur masjid menunjukkan adanya pengaruh arsitektur joglo Jawa, namun, terdapat  dua perbedaan yang paling mendasar: Pertama, pada arsitektur Jawa tipe tajug, atapnya terdiri dari tiga lapis, sementara Masjid Bayan hanya dua lapis; kedua, Pada model joglo, lapisan atas yang disebut brunjung, kemiringannya lebih tajam dibanding lapisan bawah yang disebut penanggap, sementara pada masjid ini, keadaanya terbalik, penanggap lebih tajam daripada brunjung. Sementara pengaruh arsitektur Bali tampak dari bentuk atap, dengan kemiringan yang tidak setajam model joglo di Jawa.
Muatan arsitektur lokal bisa dilihat dari ukuran dinding yang sangat pendek, hanya 1,5 meter, lebih rendah dari ukuran tinggi normal orang Indonesia. Ukuran pintu sama tingginya dengan dinding, karena itu, seorang dewasa yang masuk ke masjid harus menundukkan kepala.
Ukuran dinding dan pintu yang rendah ini, sama dengan dinding dan pintu pada rumah tradisional orang Bayan dan Lombok. Masjid Bayan tidak memiliki jendela, dan pintunya hanya satu. Model ini mengikuti prinsip hidup orang Lombok dalam membangun rumah. Menurut mereka, pintu tunggal merupakan simbol dari ‘pintu kehidupan’ yang juga tunggal.
Beberapa sumber menyebutkan, Masjid Kuno Bayan dibangun sekita abad ke 16 M. Ceritanya Sunan Giri dari Gersik menyebarkan agama Islam ke Pulau Lombok. Ketika sampai di Desa Bayan, Sunan diterima oleh Raja Bayan yang bergelar Datu Bayan, kemudian Sunan diberi sebidang tanah untuk mendirikan masjid. Tak ada kejelasan, apakah masjid ini dibangun langsung oleh Sunan Giri, atau oleh tokoh lain yang datang kemudian menggantikan posisinya.
Menurut sumber lain, yang menyebarkan Islam ke tanah Lombok adalah Sunan Prapen, bukan Sunan Giri. Sunan Prapen dikenal juga dengan nama Pangeran Senopati, dan merupakan cucu Sunan Giri. Jika data sejarah ini yang benar, maka Masjid Bayan jelas tidak mungkin dibangun oleh Sunan Giri. Memang ada perbedaan data sejarah, tapi semuanya sepakat bahwa masjid ini telah berusia sangat tua.
Mengingat usianya yang sudah begitu tua, dan bahan bangunan yang tidak tahan lama, tentulah masjid tua ini telah pernah direnovasi. Menurut masyarakat setempat, bahan bangunan yang masih asli hanyalah soko guru (empat tiang) dalam masjid, selain itu, sudah diganti dengan bahan baru tanpa mengubah bentuk dan arsitektur masjid.
Pada awal 1993, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat juga merenovasi masjid ini, namun, renovasi itu tetap tidak mengubah bentuk asli masjid. Hingga saat ini, lantai tetap dari tanah dan penerangan dari lampu jojor, bukan listrik.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut dan di Desa Rembitan. Keduanya di Lombok Tengah, di sisi Selatan pulau. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
Kini, masjid Bayan Beleq tidak lagi digunakan oleh masyarakat sekitar. Namun, masjid ini akan kembali ramai pada hari hari besar Islam. Salah satunya saat perayaan Maulid Nabi Muhammad. Masjid Bayan Beleq akan dipenuhi oleh pengunjung. Para pengunjung ini diwajibkan untuk mengikuti peraturan yang ada, semisal harus menggunakan baju adat sasak seperti dodot, sapuk dan lainnya.
Pakaian yang dikenakan para kiyai dan imam Masjid Kuno Bayan juga memiliki arti tersendiri, karena yang boleh masuk adalah keturunan dari para penghulu atau kyai yang menyebarkan agama Islam terdahulu. Satu contoh warna putih yang digunakanpara kiyai  melambangkan arti kesucian, sedangkan kain panjang (dodot) berwarna merah memberi arti jiwa kepemimpinan, dilengkapi dengan sapuq atau bongot (ikat kepala) yang juga sudah menjadi tradisi tersendiri.
Tidak diperkenankan menggunakan celana dalam bentuk apapun. Untuk kaum perempuan cukup menggunakan kemben, yakni kain yang hanya sebatas dada. Hal tersebut dilakukan karena dikhawatirkan pakaian yang biasanya digunakan, telah terkotori oleh berbagai macam jenis kotoran (najis).
Masjid Kuno Bayan dikelilingi oleh makam para kyai yang membawa Islam pada zaman dahulu. Selain itu, juga terdapat beberapa cungkup makam. Tercatat beberapa nama di makam tersebut, antara lain: Pawelangan, Titi Mas Puluh, Sesait dan Karem Saleh. Mereka adalah tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam di Lombok. Makam tersebut dibuat seperti rumah dari bedek (dinding dari bambu).
Salah satu makam yang diperlakukan beda adalah makam Sesait. Konon, makam ini tidak pernah diperhatikan ahli keluarganya hingga timbul mitos yang terjadi yaitu bencana kematian akan datang bagi anak cucu keturunan Sesait. Namun, mitos ini sepertinya tidak terbukti, karena sampai sekarang keturunan Sesait masih bisa kita temukan di Desa Bayan.
Di sekitar Masjid juga bisa kita temukan Makam Reak, yakni makam Syekh Abdul Razak yang menyiarkan agama Islam secara luas sampai ke belahan negara yang lain pada abad ke 16/17 M. Namun, di setiap daerah dakwahnya Syekh Gauz Abdul Razak selalu berganti nama, oleh karena itu beliau tidak terlalu dikenal.
Bagi anda yang mau berkunjung ke masjid kuno Bayan Belek, tak terlalu sulit, karena sarana transfortasi baik dari ibu kota provinsi NTB (Mataram) maupun dari timur Labuhan Lombok cukup lancar. Memang masjid ini dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok tak begitu  tampak , yang kelihatan hanya pagar tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang yaitu kantor tempat pendaftaran pengunjung dan rumah penjaga situs. Sementara di sebelahnya terdapat sebuah berugak tempat beristirahat bagi para pengunjung. Bangunan masjid ini baru kelihatan setelah memasuki pagar beberapa belas meter di tengah rindangnya pepohonan seperti  sebuah gubuk di puncak bukit kecil.  Selamat berkunjung (*)

Masjid Benteng Kesehatan Umat


Berjuta masjid yang ada di Tanah Air, tak menjamin telah terberdayakannya untuk pelayanan kesehatan umat. Butuh perubahan wacana, paradigma dan tata kelola masjid-masjid yang ada, agar dapat menjadi benteng kesehatan fisik dan mental umat.

Berkunjung ke Masjid Muhammad Ali atau lebih dikenal dengan sebutan Qal’ah atau Citadelyang berdiri megah di Cairo, Mesir, mengingatkan perkasanya kepemimpinan Islam di dunia beberapa abad silam. Benteng kokoh di atas bukit yang mayoritas tanahnya didomnasi oleh bangunan masjid itu, menjadi saksi sejarah fungsi sangat urgennya masjid sebagai sentra aktivitas, menyejahterakan masyarakat, dan mobilisasi kekuatan Islam masa itu.

Masjid bermodel arsitektur duplikasi dari masjid indah dengan nama yang sama di Istambul, Turki tersebut, bukan hanya lengkap sebagai istana kenegaraan, tapi juga pusat pemerintahan, bisnis dan sosial kemasyarakatan, utamanya menjamin kesehatan masyarakat.

Di masjid yang kini menjadi bagian cagar budaya UNESCO itu, masih tersisa monumen bangunan rumah sakit yang sangat lengkap untuk ukuran masanya.

Sayangnya, Indonesia yang terkenal sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, bahkan secara tak formal berjuluk “negeri sejuta masjid”, tak banyak mentradisikan masjid untuk diberdayakan maksimal, terlebih untuk kepentingan pelayanan kesehatan publik.

Bangunan masjid di Tanah Air yang tumbuh bak jamur di musim hujan ini tak dioptimalkan. Padahal, dengan fungsi masjid yang dinamis, sangat membuka peluang menjadikannya sebagai sentra aktivitas, khususnya terkait pemberdayaan kesehatan masyarakat.

Terlebih bagi umat Islam, masjid bukan sekadar simbol, tapi juga menjadi tempat yang paling sering dikunjungi. Mereka bisa lebih dari lima kali sehari “lalu lalang” ke masjid, bukan hanya untuk mengerjakan ibadah mahdhah namun juga kegiatan lainnya terkait ibadah maupun sosial. Ironinya lagi, tak sedikit masjid di Tanah Air yang hanya buka khusus di jam-jam ibadah. Entah karena alasan untuk menjaga kebersihan, keamanan, atau apapun.
Sejatinya, menurut banyak pakar, masjid memiliki fungsi nan multi, yang andai diberdayakan secara arif dan apik, perannya dalam meningkatkan kemakmuran umat akan tercapai.

Pakar tafsir terkemuka Indonesia, Prof M Quraish Shihab, merangkum sedikitnya ada sepuluh fungsi masjid yang diberdayakan pada periode awal Islam. Yaitu fungsi ibadah, pendidikan, santunan sosial, penampungan tahanan perang, balai pengobatan korban perang, aula dan tempat menerima tamu, lokasi perjanjian perdamaian dan pengadilan sengketa, pusat penerangan dan pembelaan Islam, latihan militer dan persiapan artilerinya, serta fungsi komunikasi dan konsultasi ekonomi-sosial-budaya.

Ahmad Yani, penulis Panduan Memakmurkan Masjid (Jakarta: 2009), setidaknya memaparkan sembilan peran dan fungsi masjid pada zaman Rasulullah SAW.

Pertama, fungsi utamanya sebagai tempat ibadah dan segala aktivitas yang berorientasi dzikrullâh (mengingat Allah SWT).Keduza, sebagai tempat pertemuan fisik dan batin (hati maupun pikiran). Rasulullah SAW biasa merekat jalinan pribadi dengan para Sahabatnya di dalam masjid untuk mendorong semangat juang mereka dalam menegakkan Islam.

Ketiga, tempat bermusyawarah berbagai hal dan masalah. Seperti urusan pribadi, keluarga, strategi perang, perdamaian, dan meningkatkan kemaslahatan umat.

Keempat, sebagai tempat perlindungan. Bila seseorang dalam keadaan tak aman, masjid menjadi lokasi suaka teraman selama untuk tujuan kebaikan. Seperti yang Rasulullah nyatakan kepada para penduduk Mekkah saat menaklukkan kota Mekkah (fathul Makkah). Juga menjadi tempat perlindungan fisik bagi para musafir dari terik dan hujan, atau tempat transit dan beristirahat sementara bagi mereka.

Kelima, sentra kegiatan sosial, khususnya penanganan masalah kemiskinan. Melalui masjid, Rasulullah melakukan pengumpulan zakat, infak dan sedekah, kemudian menyalurkannya kepada yang pihak yang membutuhkan (mustahiq).
Keenam, menjadi pusat latihan dan mengatur siasat perang. Ketujuh, tempat pendidikan mengajarkan ilmu dan wahyu Allah SWT. Dan masjid merupakan madrasah pertama dalam tradisi Islam. Kedelapan, tempat berdakwah.

Fungsi lainnya yang sangat signifikan adalah sebagai tempat pengobatan, khususnya pada masa-masa perang. Seperti perjuangan shahabiyyah (Sahabat wanita) bernama Rafidah, yang sering mendirikan tenda di pelataran masjid untuk merawat dan mengobati pasukan kaum Muslimin yang luka.

Benteng kesehatan umat

Seperti dirilis beberapa media, tahun 1975 silam, pernah digelar konferensi Risalatul Masjid di Makkah al-Mukarramah, yang mendiskusikan pengembangan peran dan fungsi masjid masa kini agar mampu menjadi sentra kegiatan umat.

Konferensi tersebut menghasilkan konsensus yang salah satu butirnya menyebutkan kriteria masjid untuk dapat dikategorikan “baik”. Yaitu jika masjid tersebut memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan; ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK); ruang pertemuan dan perpustakaan; ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengafankan mayat; serta ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Berdasarkan data tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia mencapai 700.000 ribu, belum termasuk langgar dan mushala yang mencapai jutaan jumlahnya. Sayangnya, masjid yang dikelola secara profesional belum begitu signifikan jumlahnya, apalagi yang mampu menangani aspek pemberdayaan kesehatan masyarakat. Sebagian besar masjid justru masih dikelola dengan cara konvensional.

Alhamdulillah, perlahan tapi pasti, kesadaran mengembangkan pemberdayaan masjid hingga level menyejahterakan kesehatan masyarakat kian berkembang di masa kini. Meski masih butuh kerjasama sinergis yang intens dari berbagai pihak terkait, agar masjid benar-benar dapat menjadi benteng utama pemberdayaan dan pelayanan kesehatan umat.
x

Menurut Direktur Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), drg Imam Rulyawan MARS, asumsi publik bahwa biaya kesehatan itu mahal, dapat ditepis jika pemberdayaan fungsi masjid dalam bidang pelayanan kesehatan umat dapat dioptimalkan.
Imam pernah melakukan studi tentang pos sehat berbasis masjid. Kesimpulan yang didapatnya, pelayanan kesehatan di tingkat dasar akan dapat terpenuhi dengan mengoptimalkan dana zakat yang ada dalam masyarakat serta meningkatkan peran swadaya dan swadaya masyarakat.

Menurutnya, kemampuan pengumpulan zakat masjid-masjid di Tanah Air sangat signifikan, apalagi bertepatan dengan bulan Ramadhan yang bisa meraup 3-4 kali lipat dana dari bulan-bulan biasa. Dan dana tersebut sangat mungkin dialokasikan menjadi dana pemberdayaan masyarakat, seperti sinergi yang dilakukan LKC dengan Dompet Dhuafa.

Imam mengilustrasikan, jika di salah satu pos sehat dalam satu bulan dapat mengumpulkan dana zakat maupun swadana sebesar Rp 4–5 juta, maka dana seminim itupun masih bisa digunakan untuk menutupi biaya kesehatarn bagi 150 KK (Kepala Keluarga). Dengan hitungan per-KK lima jiwa, berarti dengan dana tersebut mampu menutupi kebutuhan layanan kesehatan bagi 750 jiwa.
Dan dana sebesar itu diasumsikan bisa memenuhi pelayanan kesehatan tingkat dasar, seperti infeksi saluran pernafasan ringan, pusing-pusing, flu dan maag.

Secara teknis, Imam menambahkan, dari dana minimin Rp 4-5 juta tersebut, sudah bisa mengopersionalkan satu klinik yang buka dua kali seminggu dengan rata-rata praktik 3-4 jam. Dengan asumsi dari 750 jiwa yang ada, biasanya hanya 10% yang mengalami sakit. Jadi hanya sekitar 75 orang satu bulan. Dan sisa uangnya bisa digunakan untuk memenuhi biayamaintenance, obat, dan membayar tenaga relawan. Sungguh kiat simple, namun butuh ketekunan pengelolaan dan niat yang sangat tulus!

Sehat mental

Sebuah adagium popular menyebutkan, “Akal/pikiran yang sehat terdapat dalam raga yang sehat.” Al-‘aqlus-salîm fîl-jimis-salîm. Kesehatan fisik adalah dasar kesehatan, yang menopang pikiran dan jiwa. Kesehatan jiwa sangat mendukung ketentraman batin yang menunjang suksesnya kekhusyu’an ibadah.

Beban hidup yang kian berat dewasa ini, tentunya menyisakan banyak masalah bagi umat, yang juga seharusnya menjadi perhatian pihak penyelenggara/pengurus masjid untuk membantu jamaahnya terbebas dari tekanan, apalagi penyakit batin dan jiwa.

Perlindungan dan pelayanan bagi kesehatan fisik dapat dilakukan dengan upaya medis, sementara kesehatan jiwa harus ditopang dengan memberi pelayanan konsultasi psikologis.

Nana Rukmana MA, penulis buku Masjid dan Dakwah (2002) mengungkapkan, pengurus masjid berkewajiban untuk membantu jamaahnya mengatasi dan memecahkan persoalan mental, misalnya dengan membuka pelayanan konsultasi.

Menurut aktivis Masjid Agung al-Azhar Jakarta ini, sudah saatnya masjid-masjid menyediakan tempat khusus untuk konsultasi para jamaah dalam memecahkan problem hidup yang dirasakan. Tentunya dengan mengutamakan keamanan privasi mereka.

“Ini penting untuk menghindari jamaah yang mengalami penurunan iman karena menghadapi banyak masalah. Apalagi jika karena dirundung masalah, ia menjadi tidak aktif mengikuti kegiatan masjid,” tegasnya.

Terkait layanan kesehatan yang dapat dikembangkan di lingkungan masjid, Nana melihat layanan kesehatan yang islami dapat diterapkan. Misi sosial juga harus dikedepankan. “Dokter dapat menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada pasien tanpa memungut biaya terlalu komersial,” ujar alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah mengikuti Latihan Mujadi Dakwah pada 1974 di Masjid Salman itu.

RUMAH ALLAH


RUMAH ALLAHCetakE-mail
DUA belas anak tangga aku turuni.  Di pintu masuk yang juga menjadi pintu keluar, seorang lelaki kuhampiri.  Kekar dan masih kencang kulitnya dan masih hitam rambutnya.  Begitu sehat, kemeja putih lengan pendek dengan dua saku di kanan dan kiri dada, celana panjang biru tua, sepatu lars hitam, topi biru yang bersih dan tajam warnanya, walkie-talkie.  Kutanyakan sebuah musala. 
“Di gedung ini tidak ada, Dik. Pegawai di sini bila salat di antara meja-meja mereka sendiri.  Tetapi masjid umum di luar ada.  Dari sini keluar, belok kiri, belok kiri lagi, ada jalan lurus.  Di jalan pertama masuk saja.  Masjidnya tidak jauh dari papan nama jalan.”
Rupanya aku terlalu merasa mengetahui segala hal, dan menganggap semua yang dilihat mataku berbulan-bulan kemarin tidak mungkin terjadi. Rupanya orang yang membuat kehidupan berpanjang-panjang untuk mata dengan perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki berwajah tanpa cela dan pakaian-pakaian bagus, melihat juga kehidupan yang diatur Tuhan.  Kehidupan yang tidak dibuat dan diatur olehnya yang sering kali semata karena kesombongan pikiran dan hasilnya hanya sampah.
Ataukah orang itu pernah datang ke gedung ini?
Aku keluar dari gedung tanpa merasakan apa-apa.  Hatiku, semenjak pergi pagi tadi, bahkan sejak sebelum-sebelum-sebelumnya, sudah kusiapkan lapang, karena aku yakin Tuhan pasti akan memberi apa saja yang paling baik untukku, di lain hari, juga tentunya kepada orang-orang lain.
Sebuah meja yang seharusnya kuhadapi kembali pergi entah ke hadapan siapa.  Pertanyaan-pertanyaan lelaki yang menerimaku tadi, begitu menunjukkan hatinya : “Apa daerah asal orang tua Anda?”; “Apa Anda siap mengikuti aturan-aturan?”; “Apa Anda kenal dengan seseorang di gedung ini?”
Aku belok kiri, belok kiri lagi, melintasi jalan lurus.  Di jalan pertama, aku melihat papan nama jalan:  “Jln. Masjid”.
Masjid itu bagus, besar, megah, mewah.  Berlantai dua dengan dinding warna hijau dan kubah putih.  Pagar tembok dan besi melindungi di sekelilingnya.  Pelataran luas berlantai com-block dengan belasan pohon kenari di pinggir  dalam pagar.  Tentunya banyak sekali uang dikeluarkan untuk membangunnya.
Aku mendorong ke kiri pintu gerbang, sekadar cukup untuk badanku, karena sebuah papan digantung di pintu:  “Tutup Kembali”.  Kuselipkan badanku, menutup kembali pintu.  Kubuka kedua sepatu pantopel hitam dan kaus kaki cokelat tua yang membungkus kakiku.  Kuletakkan di anak tangga.
Aku noleh kiri-kanan. Di sayap kiri, di tiang, kulihat papan ukuran 20  x 25 cm bergambar siluet perempuan berkerudung.  Dari dalam kedengar suara air kran mengalir dan suara sapu lidi menggesek-gesek lantai.  Di sayap kanan, kulihat papan ukuran 20  x  25 cm di tiang, bergambar siluet lelaki berpeci.  Aku membuka jam tanganku, menggulung celanaku, memutar kran.  Tas yang kusangkil dan kacamataku kuletakkan di atas tempat wudu.
Aku memegang gagang pintu, memutar, menarik.  Keras.  Ternyata dikunci.  Ini bukan pertama kalinya.  Beberapa sajadah tergulung di lantai.  Sebuah kertas ditempel dikaca:  “Silahkan pakai sajadah yang ada.  Jangan lupa gulung kembali.  Mohon tidak dicuri”. 
Mataku melihat ke dalam masjid, menembus kaca agak terang yang mengelilinginya.  Marmer putih berukuran 1 x 1 meter terhampar di seluruh lantai.  Di  langit-langit bagian tengah, tergantung lampu berhias kristal-kristal berbentuk buah belimbing besi, memantulkan cahaya dari lampu-lampu yang dilindunginya.  
Di langit-langit yang lain, tergantung delapan kipas angin baling-baling, di antara lampu-lampu bulat sebesar kepalan orang dewasa.  Empat kipas angin berkaki ditempatkan di keempat sudut.  Ukiran marmer hijau bertuliskan ayat kursi dipasang memanjang di dinding marmer putih sekeliling masjid.  Ukiran marmer hijau yang lain berbentuk lingkaran bertulis “Allah” dan “Muhammad” terpasang di kanan dan kiri depan.
Aku menenteng kedua sepatuku.  Menaiki tiga puluh anak tangga.  Kuletakkan sepatu di anak tangga teratas.  Kembali kupegang gagang pintu, memutar, menarik.  Keras, ternyata dikunci.  Ya, ini bukan yang pertama kalinya.
Aku meletakkan tas sangkil di lantai teras atas.  Kacamata kuletakkan di atasnya.  Beberapa sajadah yang tergulung di lantai, kuambil sebuah.  Kugelar menghadap barat. Sebuah kertas ditempel di kaca tadi kubaca:  “Silahkan pakai sajadah yang ada.  Jangan gulung kembali.  Mohon tidak dicuri.”
Kuambil tasbih di dalam tas, kuletakkan di ujung depan sajadah, aku berdiri di atas sajadah, menghadap barat, kedua tanganku lurus di samping 
* * *
MATAKU melihat ke dalam masjid, menembus kaca agak gelap yang mengelilinginya. Sebuah mimbar setinggi 1,5 m dan lebar satu meter, terbuat dari kayu berwarna cokelat tua berukiran bunga-bunga, berdiri kokoh di depan, lengkap dengan mike di mejanya. Ukiran marmer hijau bertuliskan ayat kursi dipasang memanjang di dinding marmer putih sekeliling masjid.  Ukiran marmer hijau yang lain berbentuk lingkaran bertulis “Allah” dan Muhammad” terpasang di kanan dan kiri depan.
Betapa bagus, besar, megah, mewah. 
Aku diam berpikir.  Para pengurus masjid seringkali merasa bahwa masjid adalah milik manusia, karena manusia yang mengeluarkan uang untuk membangunnya, makanya merasa berhak menguncinya dan orang-orang menjadi sulit mencium sajadahnya.   Padahal masjid milik Allah, maka hanya Allah yang berhak mengunci dan membuat orang-orang sulit menikmati sajadahnya.  
Namun, nyatanya Allah tidak pernah mengunci dan melarang orang memasuki rumah-Nya, betapa pun kotor orang itu.  Bahkan penjahat besar sekalipun Allah persilahkan masuk.  Allah, hanya ingin orang-orang menjaga kebersihan rumah-Nya.  Maka hanya orang yang tubuhnya bersih, kakinya tidak berlumpur, tubuhnya tidak terkena najis, dan sudah berwudu yang diperbolehkan masuk ke masjid.
Namun, kalau semua pintunya dikunci, bagaimana manusia bisa bertemu Allah sang empu-Nya rumah?
Sajadah kembali kugulung, kugabungkan dengan beberapa yang tergulung di lantai.
Aku kembali menyangkil tas dan memakai kacamata.  Kaus kaki cokelat tua dan sepatu pantopel hitam kembali membungkus kakiku.  Tiga puluh anak tangga kembali kuturuni.  Aku kembali diam berpikir, duduk di teras, menghadap jalan raya.
“Mau salat, Dik?” Seorang lelaki menghampiriku.  Kurus dan sudah mengeriput kulitnya dan sudah memutih semuanya rambutnya.  Begitu tua.  Kemeja cokelat lengan panjang digulung di batas siku dengan dua saku di kanan dan kiri dada, celana panjang hitam digulung dibatas lutut, sandal jepit merah, peci hitam yang sudah menguning warnanya, sapu lidi.
Aku menoleh ke kanan.  “Sudah, Pak”.
“Sudah?” Bapak tua itu duduk di dekatku.
“Ya, ini mau pergi”.  Aku mengambil jam tanganku di saku celana depan sebelah kanan, memakai kembali ke pergelangan tangan diriku.
“Saya tidak mendengar ada orang masuk dari tadi.  Saya di dalam membersihkan WC perempuan.  Salat di mana tadi?”
“Di atas”.
“Adik dari mana?”
“Kantor radio di depan”.
“Kerja di sana?”
“Baru dipanggil”.
“Diterima?”
“Sepertinya tidak, Pak”.
“Mendapatkan pekerjaan sekarang memang sulit, Dik.  Tapi sabar saja.  Allah pasti akan memberi yang terbaik untuk Adik dilain hari”.
“Kenapa masjid ini pintu-pintunya dikunci, Pak?”
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannya, yang menyuruh, Dik.  Dia tidak ingin masjid miliknya kembali dimasuki maling”.
“Masjid milik Allah, Pak.  Rumah Allah”.
* * *
“MEMANGNYA pernah terjadi apa di dalam, Pak?”
“Pencurian, Dik.  Bapak tua itu membenarkan letak pecinya.
Aku mengernyitkan dahi.  “Begitu? Apa yang hilang?” Kupikir berani sekali orang yang melakukannya.  Mencuri di rumah Tuhan! Manusia saja marah jika rumahnya dimasuki pencuri, bagaimana Tuhan?
“Pernah, Dik.  Kotak amal.  Dua buah sekaligus.  Padahal ada yang lebih mahal.  Jam ukuran besar ukuran lemari di samping mimbar.  Mungkin karena sulit mengangkatnya, ya?”
Aku meringis saja.  “Kenapa tidak menggaji orang untuk menjadi penjaga saja, Pak? Jadi bukan dengan cara mengunci begini”.
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannya, orangnya sangat pelit, Dik”.
“Begitu?”
“Seharusnya memang ada orang yang digaji untuk menjaga siang dan malam di sini.  Bukan dikunci begini.  Tapi saya bisa apa, Dik? Saya cuma kuli”.
* * *
AKU melihat jam tanganku.  Tepat 12:53.  Bapak tua itu masih disampingku.
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannya, orangnya galak, Dik.  Kalau masjid kelihatan kotor, dia marah sekali.  Katanya masjid tidak boleh kotor karena nanti orang tidak akan tertarik menyewanya untuk pesta pernikahan”.
“Begitu?”
“Ya, di lantai bawah ini, Dik.  Biasanya hari Sabtu atau Minggu.  Biaya sewanya mahal sekali.  Tapi tetap saja banyak orang yang menyewa”.
Aku kembali diam berpikir.  Ternyata memang karena uang semuanya bisa bermula dan berakhir.
“Ketua yayasan masjid ini, sekaligus yang membiayai pembangunannnya orangnya sangat pelit, Dik.  Saya saja sudah sepuluh tahun bekerja di sini, sejak masjid ini dibangun, sebulan cuma digaji Rp 150 ribu.  Padahal dia sangat kaya.  Bahkan katanya akan kembali membangun sebuah masjid berlantai dua ditempat lain.  Katanya, sih, akan lebih bagus dan lebih besar dari masjid ini, dan biaya sewa untuk pesta pernikahannya akan lebih mahal.”
Aku berdiri.  Kembali menyangkil tas.  Kudorong ke kanan pintu gerbang, sekedar cukup untuk badanku, karena sebuah papan digantung dipintu: “Tutup Kembali”.
Manusia seringkali merasa bahwa masjid adalah milik mereka, karena mereka yang mengeluarkan uang untuk membangunnya, makanya merasa berhak menguncinya dan orang-orang menjadi sulit mencium sajadahnya.  Padahal masjid milik Allah, maka hanya Allah yang berhak mengunci dan membuat orang-orang sulit menikmati sajadahnya.  Namun, nyatanya Allah tidak pernah mengunci dan melarang manusia memasuki rumah-Nya, betapapun kotor manusia itu.  Bahkan penjahat besar sekali pun Allah persilakan masuk.  
Maka kini kulihat banyak masjid bernasib layaknya museum:  Bagus, besar, megah, mewah, namun tidak ada umat yang salat di dalamnya karena pintunya hanya dibuka untuk salat Jumat dan pesta pernikahan.  Hari-hari lain, hanya dua atau tiga orang salat di sana, dan itu pun hanya di teras.
Karena manusia seringkali merasa bahwa masjid adalah milik mereka.* * *

LUKISAN TERINDAH AL-QUR’AN TENTANG MASJID


LUKISAN TERINDAH AL-QUR’AN TENTANG MASJID
Masjid bukanlah bangunan suci yang terpisah dari hiruk pikuk kehidupan, bukan pula ruang persaingan di mana orang lari dari tanggung jawab keluarga dan social. Bahkan bukan juga “goa pertapa” untuk orang yang seolah tenggelam dalam pemujaan tuhan,tapi berpangku tangan keadaan. Bukan tempat pelarian dari kewajiban mencari materi dan memakmurkan dunia.
Tapi masjid, seperti yang betapa indahnya dilukiskan al-Qur’an adlah wilayah dan bangunan suci orang orang yang sibuk bertebaran mancari karunia Allah swt dan memakmurkan dunia. Masjid adalah “benteng terakhir” bagi mereka yang serius dan sibuk bekerja mengais rejeki. Juga sebagai “perthana terakhir” bagi pahlawan keluarga yang bersaing bisnis. Namun, pada saat bersamaan mereka sadar betapa kesibukan mereka itu melalaikan menjerembabkan; betapa gemerlap dunia itu menyilaukan dan memenjarakan. Itulah sebabnya masjid, seprti dipotret al-Qur’an,mendapat tempat istimewa di hati mereka. Bagaimanapun sibuk dan larut dalam bisnis hingga tenggelam Karena banjir keuntungan, namun pada akhirnya mereka menjawab kumandang adzan dengan rela dan penuh keikhlasan.